Minggu, 30 September 2012

Rumah yang disebut Rumah


Bagian  Barat Jakarta  01.15 PM

Berkendara jam satu malam di Jakarta seperti inikah rasanya, berteman dengan aspal berwarna hitam, melihat warna temaram akibat lampu jalan yang sudah mulai terlihat padam. Merasakan warna Jakarta yang lain, suasana tenang lalu-lintas yang ramah, telah ditunjukan dengan indahnya “siapa” Jakarta pada malam hari.

Menikmati berkendara malam hari di Jakarta memang menjadi sensasi sendiri yang jarang bisa dirasakan dihembus angin malam yang katanya bisa bikin sakit ini tapi bagi-ku ini rasanya bagai surga kecil, mengingatkan akan kota yang benar-benar bisa disebut manusiawi walaupun hanya malam hari.

Gambir 01.52 PM

Setelah puas merasakan dan “bermesraan” dengan suasana malam Jakarta, roda motor ini  mulai memasuki pelataran parkir stasiun terbesar di Jakarta Gambir namanya. Jam mulai bergerak ke angka dua kurang sepuluh menit, malam kembali menunjukan “kegagahanya” dengan menhembuskan angin dingin yang menusuk hingga tulang.

suasana stasiun masih hidup dengan kegiatan walaupun lebih sepi dari keadaan siang hari, ada pedagang yang masih setia menjajakan daganganya, seorang pemuda tanggung menjajakan minuman, dengan kaos merah dari sebuah klub sepakbola liga Inggris terlihat sudah mulai lelah, dari matanya yang tampak sayu menahan kantuk.

Di dalam stasiun masih ada bebrapa toko 24 jam, ada warung kecil dengan aneka makanan ringan dan minuman seperti kopi instan, susu, dan jahe seduh. Badan  lelah ini memutuskan untuk duduk di warung jahe seduh  sambil menunggu kedatangan kereta  dari semarang.

Kereta berangkat jam 6 sore dari semarang dan diperkirakan tiba jam 3 dini hari,masih ada waktu sekitar setengah jam untuk sekedar meminum jahe dengan membaca atau tidur di bangku stasiun yang sudah sepi ini.

Di dalam stasiun sudah tidak terlalu banyak orang yang berlalu-lalang karena jadwal kedantangan kereta kebanyakan pada pukul 3, di dalam warung juga nggak jauh berbeda, hanya ada bapak penjual dan saya, si bapak terlihat sedang merapihkan bungkusan mie instan di depan warungnya.

Air jahe seduh di gelas sudah mulai berkurang menjadi setengah gelas, si bapak tampak berdiri di samping saya, lalu bertanya “sedang nunggu mas?” saya jawab ‘iya pak” nunggu yang dari semarang apa solo?” lanjut bapak itu lagi (karena kereta yang datang sebentar lagi adalah dari semarang dan solo) dari "Semarang Pak," sambung ku lagi.

si bapak pun berlalu  sambil membawa satu bungkus mie instan, tapi tak lama si bapak kembali ke meja sambil menarik kursi ke arahnya ia bertanya "aslinya dari mana mas?" gw pun menjawab sekenanya "asli sini pak,karena lahir disini" (sambil senyum) 

si bapak yang tampaknya melihat saya lelah lalu bertanya "tinggal daerah mana mas?" "grogol pak" lanjutku dengan pertanyaan "bapak tinggal dimana?",  "disini mas ,di toko ini' jawab si bapak "dalam toko ini pak?" tanya yang seakan memperjelas kalimat bapak tadi, "rumah dimana pak?"  "di bojonegoro anak istri saya disana"

pertanyaan dengan nada pelan ini mencoba mencari tahu, "kalo tidur dimana pak" , "di dalam warung ini, ada ruangan kecil di dalam kalo mandi bisa pakai kamar mandi stasiun, karena rumah bagi saya dimana saya bisa nyaman dan melakukan aktivitas hidup di dalamnya mas" jawab si bapak.

02.59 pm

"sekarang bapak kangen sama anak istri" pertanyaan yang sedikit membuat bapak terlihat berpikir ,"kalo pengertian kangen dan pengen bertemu itu beda, ya sekarang saya ingin bertemu kalo kangen setiap hari mas, tapi bagi mas,sekarang lebih baik naik ke peron karena kereta semarang sudah masuk stasiun" (terdengar petugas informasi stasiun sedikit berteriak melaui speaker mengenai kedatangan kereta dari semarang).