Akibat terlalu banyak merenung dan
memikirkan ini-itu dengan berpikir lebih dalam, gw menemukan kalau selama ini
terlalu banyak terburu-buru dalam melakukan sesuatu, kepikran juga tentang umur
yang sudah mendekati kepala 3 walau masih beberapa tahun lagi tapi rasanya itu
takkan lama.
Ternyata gw adalah seorang impulsive,
yang menyenangi hal-hal yang kebalikan dari orang-orang se-usia gw. Dan gw masih
tetap suka naik angkot dan pergi makan di warteg.
Gw suka memuji kebiasaan orang yang mengopi
perlahan. Dan merenung dalam-dalam. Jika mengamati kebiasaan orang-orang di
sekitar, gw melihat bahwa kecenderungan orang-orang yang begitu aktif di sosial
media seperti twitter dan facebook. Hanya untuk memamerkan sesuatu. Kita
gampang mengadili orang lain. Dan kita gampang sekali berkata-kata kasar
terhadap orang lain.
Sosial media seperti membuat gw dan
(mungkin) loe memiliki dua kepribadian. Kita menjadi sangat ramah ketika
bertemu dengan bos di kantor. Dan memaki-maki bos kita di status yang kita buat
(twitter, facebook, bbm.whatsapp)
Atau dengan akun-akun fiktif yang kita
buat, kita seperti menjadi orang lain. Ketika menulis ini gw sama sekali nggak
bermaksud untuk menyinggung soal moral. Tetapi gw menyinggung value gw dan loe ketika
diciptakan sebagai manusia.
Manusia-manusia digital. Yang lupa akan
hal-hal sederhana. Termasuk lupa pada bagaimana menertawakan diri sendiri. Juga
lupa akan keindahan titik-titik hujan di jendela.
aku dan kamu, terlalu sibuk untuk
mengejar sesuatu yang sifatnya fana dan dangkal. Dan kita lupa bahwa, di dalam
diri kita ada nilai kekekalan.
Beberapa waktu ke belakang, ketika pergi
kumpul-kumpul dengan beberapa teman, kita coba menerapkan rules: no handphone while
dinner. Dan aturan itu dilanjutkan dengan, mari kita mencari topik-topik
sederhana yang akan kita obrolin ketika kumpul. Memang belum berjalan seutuhnya,
karena beberapa teman gw masih gatal untuk mengecek handphone mereka.
Ketika banjir kemarin melanda Jakarta,
gw menghabiskan waktu gw bersama keluarga
di rumah. gw merasa begitu bangga, karena bisa menghabiskan banyak waktu
untuk mengobrol dengan ayah/Ibu lebih lama. Kami bahkan berdiskusi tentang
banyak hal. Tidak ada handphone. Hanya mengobrol.
Dan ketika banjir telah surut
kebersamaan itu pelan-pelan hilang dengan waktu-waktu gw banyak dihabiskan di
sosial media tanpa esensi. Sebaiknya kita pikir-pikir lagi esensi kehidupan
kita, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.
Dalam hal ini, gw setuju dengan tulisan
Taufiq Rahman di Jakartabeat.net yang
mengatakan: Bagaimana jika pilihan untuk
generasi 30-an sekarang adalah untuk berjalan lebih pelan. Bangun siang,
membaca buku lebih sering, menikmati musik dan lebih banyak berdiam dan
berpikir.