Rabu, 30 Januari 2013

Club 30-an



Akibat terlalu banyak merenung dan memikirkan ini-itu dengan berpikir lebih dalam, gw menemukan kalau selama ini terlalu banyak terburu-buru dalam melakukan sesuatu, kepikran juga tentang umur yang sudah mendekati kepala 3 walau masih beberapa tahun lagi tapi rasanya itu takkan lama.


Ternyata gw adalah seorang impulsive, yang menyenangi hal-hal yang kebalikan dari orang-orang se-usia gw. Dan gw masih tetap suka naik angkot dan pergi makan di warteg.

Gw suka memuji kebiasaan orang yang mengopi perlahan. Dan merenung dalam-dalam. Jika mengamati kebiasaan orang-orang di sekitar, gw melihat bahwa kecenderungan orang-orang yang begitu aktif di sosial media seperti twitter dan facebook. Hanya untuk memamerkan sesuatu. Kita gampang mengadili orang lain. Dan kita gampang sekali berkata-kata kasar terhadap orang lain.

Sosial media seperti membuat gw dan (mungkin) loe memiliki dua kepribadian. Kita menjadi sangat ramah ketika bertemu dengan bos di kantor. Dan memaki-maki bos kita di status yang kita buat (twitter, facebook, bbm.whatsapp)

Atau dengan akun-akun fiktif yang kita buat, kita seperti menjadi orang lain. Ketika menulis ini gw sama sekali nggak bermaksud untuk menyinggung soal moral. Tetapi  gw menyinggung value gw dan loe ketika diciptakan sebagai manusia.

Manusia-manusia digital. Yang lupa akan hal-hal sederhana. Termasuk lupa pada bagaimana menertawakan diri sendiri. Juga lupa akan keindahan titik-titik hujan di jendela.

aku dan kamu, terlalu sibuk untuk mengejar sesuatu yang sifatnya fana dan dangkal. Dan kita lupa bahwa, di dalam diri kita ada nilai kekekalan.

Beberapa waktu ke belakang, ketika pergi kumpul-kumpul dengan beberapa teman, kita coba  menerapkan rules: no handphone while dinner. Dan aturan itu dilanjutkan dengan, mari kita mencari topik-topik sederhana yang akan kita obrolin ketika kumpul. Memang belum berjalan seutuhnya, karena beberapa teman gw masih gatal untuk mengecek handphone mereka.

Ketika banjir kemarin melanda Jakarta, gw menghabiskan waktu gw bersama keluarga  di rumah. gw merasa begitu bangga, karena bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol dengan ayah/Ibu lebih lama. Kami bahkan berdiskusi tentang banyak hal. Tidak ada handphone. Hanya mengobrol.

Dan ketika banjir telah surut kebersamaan itu pelan-pelan hilang dengan waktu-waktu gw banyak dihabiskan di sosial media tanpa esensi. Sebaiknya kita pikir-pikir lagi esensi kehidupan kita, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.

Dalam hal ini, gw setuju dengan tulisan Taufiq Rahman di Jakartabeat.net yang mengatakan: Bagaimana jika pilihan untuk generasi 30-an sekarang adalah untuk berjalan lebih pelan. Bangun siang, membaca buku lebih sering, menikmati musik dan lebih banyak berdiam dan berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar